Peran Komunikasi Efektif Dalam Mengelola Perubahan Organisasi pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

PEMBAHASAN STUDI KASUS

I.       Latar Belakang
Satu-satunya hal yang tetap di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Demikian sepenggal kalimat yang menunjukan bahwa dengan seiringnya waktu pasti akan ada perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut dapat membawa dampak positif ataupun sebaliknya berdampak negatif kepada kehidupan kita. Oleh karena itu tinggal sejauh mana kita mempersiapkan menghadapi perubahan tersebut sehingga berdampak positif bagi kehidupan kita. Perubahan dapat terjadi dimana saja termasuk di dalam sebuah organisasi dengan pertimbangan untuk kemajuan atau perbaikan kinerja suatu organisasi tersebut. Salah satunya adanya program transformasi kelembagaan yang terjadi pada Kementerian Keuangan yang dimulai sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini. Proses transformasi kelembagaan tersebut lebih dikenal dengan istilah reorganisasi Kementerian Keuangan yang didalamnya melibatkan konsultan McKinsey Global Institute (McKinsey). McKinsey merupakan sebuah lembaga internasional yang fokus untuk membidangi konsultasi manajemen di bidang bisnis/swasta, pemerintahan dan institusi/organisasi. Berdasarkan hasil penelitian/assesment McKinsey terhadap struktur organisasi, tugas dan fungsi kementerian Keuangan disampaikan bahwa perlu adanya penajaman fungsi di Kementerian Keuangan dimana salah satunya adalah  fungsi perbendaharaan yang terkait langsung dengan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
Berdasarkan penelitian tersebut, ketiga unit eselon I dimaksud perlu disatukan fungsinya menjadi menjadi satu atap atau dengan kata lain dilakukan merger untuk penajaman dan penguatan fungsi Kementerian Keuangan. Rencana reorganisasi tersebut akan dilakukan secara bertahap dan ditargetkan selesai pada tahun 2023. Rencana penggabungan tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan atas perubahan yang akan terjadi. Kelebihannya adalah seperti yang direkomendasikan oleh McKinsey bahwa akan terjadi penajaman fungsi untuk kebaikan organisasi sedangkan kekurangannya adalah dari segi sumber daya manusia (SDM) yang perlu diperhitungkan mengenai komposisi pegawai di unit baru yang akan dibentuk tersebut.
Berkenaan dengan hal tersebut, saya akan membatasi permasalahan SDM hanya pada DJKN sebagai tempat saya bekerja saat ini. DJKN saat ini terdiri dari 17 Kantor Wilayah (Kanwil) dan 70 Kantor Operasional (KPKNL) yang tersebar dari Sabang sampai dengan Merauke. Jumlah SDM yang dimiliki saat ini adalah sebanyak 3500 pegawai. Data statistik komposisi kantor dari ketiga unit eselon I sebagai berikut:
Tabel 1. Komposisi Jumlah Kantor 3 Unit Eselon I

Satuan Kerja
Kantor Pusat
Satuan Kerja Kantor Daerah
Total Satker
DJKN
4
207
301
DJPb
1
87
88
DJPPR
1
0
1
Sumber: https://www.kemenkeu.go.id

II.    Rumusan Masalah
a.       Masalah
Adanya resistensi pegawai Ditjen Kekayaan Negara terhadap rencana reorganisasi.
Rencana reorganisasi yang akan dilakukan tersebut terdapat respon negatif dari internal organisasi yaitu adanya resistensi pegawai atas rencana reorganisasi tersebut. Hal ini disebabkan reorganisasi atau perubahan tersebut akan membawa dampak berupa pergeseran posisi jabatan (mutasi) dan perubahan budaya organisasi.

b.      Permasalahan
Bagaimana cara mengatasi resistensi pegawai terhadap rencana reorganisasi?
Resistensi pegawai terhadap rencana reorganisasi tersebut perlu diminimalisir agar perubahan tersebut dapat dilaksanakan secara optimal dengan cara membangun komunikasi yang efektif yaitu memberikan pemahaman dan informasi seluas-luasnya kepada pegawai seperti menyelenggarakan edukasi dan sosialisasi kepada pegawai.

c.       Persoalan
Komunikasi efektif dalam mengelola perubahan organisasi belum dibangun secara optimal.
Resistensi pegawai terhadap reorganisasi tersebut dipicu karena tidak optimalnya penyampaian/penyebaran informasi reorganisasi tersebut kepada pegawai. Informasi tersebut berguna untuk memberikan gambaran kepada pegawai mengenai organisasi yang akan dibentuk tersebut kedepannya akan seperti apa. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan upaya untuk membangun komunikasi yang efektif baik melalui saluran komunikasi formal maupun informal.

III. Penyelesaian Masalah
a.      Proses Perubahan dan Resistensi
Pelaksanaan reorganisasi atau perubahan di suatu organisasi seringkali terdapat hambatan/kendala yang akan terjadi. Tantangan terbesar dari suatu perubahan adalah berasal dari internal organisasi yaitu SDM apakah mereka mendukung atau sebaliknya tidak antusias (reluctant) bahkan cenderung menolak (resistance) terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan (on the spot) diketahui bahwa terdapat ketidaksiapan para pegawai DJKN dalam menghadapi perubahan tersebut. Ketidaksiapan tersebut menimbulkan rasa resistensi atas perubahan tersebut yang dikarenakan karena adanya kekhawatiran perubahan posisi jabatan serta perubahan budaya organisasi. Rasa kekhawatiran pegawai tersebut dapat dimaklumi karena perubahan pasti akan membawa dampak karena dengan bergabungnya 3 unit tersebut berarti masing-masing unit akan membawa budaya organisasi yang selama ini mereka laksanakan sehingga sebagian besar pegawai lebih menginginkan tidak perlu adanya reorganisasi dengan pertimbangan walaupun tanpa penggabungan tersebut, layanan kepada masyarakat atau stakeholder tetap terlayani.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meminimalisir resistensi atau rasa kekhawatiran tersebut dengan cara melakukan komunikasi yang efektif dengan memberikan pemahaman yang luas kepada pegawai bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata untuk kemajuan dan kepentingan organisasi. Saya sependapat dengan arahan Direktur Jenderal Kekayaan Negara bahwa perlu ditanamkan pengertian what is transformation benefit to organization, not what is benefit to me. Komunikasi yang efektif dalam rangka penyampaian informasi terkait rencana reorganisasi tersebut dilakukan dengan cara edukasi dan sosialisasi yang optimal sehingga diharapkan reorganisasi dapat berjalan  serta mendapat dukungan dari seluruh pegawai.
Inisiatif perubahan di lingkungan pemerintah pada umumnya dilakukan melalui mekanisme top-down namun tak jarang juga inisiatif berasal dari bawah ke atas (bottom-up). Hal ini dapat dilihat dari proses desain program transformasi kelembagaan dimana penyusunan tema transformasi berasal dari manajemen tingkat atas (top-down) sementara penyusunan masing-masing inisiatif berasal dari focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh para tingkat pimpinan level menengah dan staf di lapangan (bottom-up). Kreitner-Kinicki (2014) menyebutkan bahwa dorongan-dorongan terhadap perubahan berasal dari eksternal (external force for change) dan internal (internal force to change). Dorongan eksternal berasal dari karakteristik demografi, kemajuan teknologi, perubahan lingkungan, tekanan sosial politik, sedangkan dorongan internal berasal dari masalah/prospek sumber daya manusia dan perilaku/keputusan manajerial. Rencana reorganisasi Kementerian Keuangan sendiri lebih dikarenakan dorongan internal yaitu berasal dari inisiatif Pimpinan Kementerian Keuangan yang bekerja sama dengan McKinsey untuk dilakukan penguatan dan penajaman fungsi Kementerian Keuangan.
b. Teori Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (KPO) untuk penyelesaian masalah
Terkadang inisiatif perubahan yang sangat bagus tidak dapat diimplementasikan karena kurangnya dukungan sumber daya khususnya pegawai di tingkat bawah yang turut serta menggerakan organsiasi. Oleh karena itu, untuk dapat mengubah ide perubahan menjadi tindakan nyata dibutuhkan suatu  kesamaan pemahaman diseluruh tingkatan pegawai. Berkenaan dengan hal tersebut, berikut model KPO untuk menyelesaikan permasalahan dimaksud:

Gambar 1. Model Penyelesaian KPO



Berdasarkan model perubahan Kurt Lewin, terdapat tiga tahapan model perubahan yang direkayasa untuk menjelaskan bagaimana memulai, mengelola, dan menstabilisasi proses perubahan. Tiga tahapan itu adalah pencairan (unfreezing), perubahan (changing), dan pembekuan (refreezing). Adapun asumsi yang mendasari teori ini adalah:
1.      Proses perubahan melibatkan pembelajaran sesuatu yang baru dan menghentikan sikap-sikap, perilaku, atau praktik-praktik organisasi yang lazim dilakukan.
2.  Perubahan tidak akan terjadi kecuali jika ada motivasi untuk berubah. Ini sering menjadi bagian tersulit dalam proses perubahan.
3.   Orang-orang merupakan pusat dari semua perubahan organisasi, perubahan apapun, apakah perubahan struktur, proses kelompok, sistem penghargaan, atau desain pekerjaan membutuhkan individu-individu untuk berubah.
4.      Resistensi terhadap perubahan muncul bahkan ketika tujuan-tujuan perubahan sangat disukai.
5.      Perubahan efektif membutuhkan penguatan perilaku, sikap, dan praktik organisasi yang baru.
Timbulnya rasa resistensi pegawai DJKN tersebut sejalan dengan asumsi yang diutarakan oleh Lewin bahwa proses perubahan berpotensi terjadi adanya resistensi. Namun demikian, asumsi Lewin tersebut sekaligus memberikan solusi atas permasalahan resistensi yaitu perubahan dapat berlangsung efektif jika dilakukan penguatan perilaku, sikap, dan praktik organisasi serta membutuhkan dukungan individu dalam organisasi tersebut.

Selanjutnya sesuai teori J.P. Kotter dalam rangka mengelola perubahan organsiasi,  salah satunya diperlukan upaya untuk membangun rasa urgensi perubahan dibenak karyawan dan dapat mengoptimalkan komunikasi atas perubahan tersebut. Dalam penyelesaian masalah pada pengembangan organisasi (organization development) perlu diperhatikan komponen-komponen dari proses pengembangan organisasi:
  1. Diagnosis: apa masalahnya dan apa penyebabnya?
  2. Intervensi: apa yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah?
  3. Evaluasi: apakah intervensinya berhasil?
  4. Umpan Balik: apa yang dihasilkan evaluasi mengenai diagnosis dan efektivitas dari cara penerapan intervensi?
  5. Selain itu diperlukan pemahaman untuk menangani resistensi terhadap perubahan  (reducing the restraining force). Perubahan organisasi merupakan upaya manajemen untuk membuat para karyawan berperilaku, berpikir, dan bekerja secara berbeda. Perubahan yang akan dilakukan terkadang mendapat resistensi yang dipicu karena adanya kecenderungan seseorang untuk menolak perubahan, terkejut dan takut pada sesuatu yang baru, takut akan kegagalan, dan takut akan kehilangan status dan/atau keamanan kerja.

Oleh karena itu diperlukan strategi untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan yang dapat dilakukan dengan cara menyediakan sebanyak mungkin informasi kepada para karyawan tentang perubahan, menginformasikan kepada karyawan tentang alasan perubahan, dan mengadakan pertemuan untuk menjawab pertanyaan karyawan terkait dengan perubahan.
Penyampaian informasi tersebut dapat dilakukan dengan mengoptimalkan saluran komunikasi formal (atas, bawah, horizontal, dan eksternal) dan saluran komunikasi informal (management by walking around) dengan rincian sebagai berikut:
1.      Komunikasi formal dilakukan dengan cara:
a.       Komunikasi yang dilakukan dari atasan ke bawahan bahwa reorganisasi yang akan dilakukan bertujuan untuk kemajuan organisasi dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi atau bahkan dapat pula dilakukan semacam inhouse training dengan materi pekerjaan atau tugas-tugas yang akan ditangani oleh organisasi baru yang akan dibentuk nanti.
b.      Membuat semacam booklet mengenai resume reorganisasi tersebut termasuk rencana empowerment SDM yang akan dilakukan sehingga dapat meminimalisir kekhawatiran pegawai mengenai masa depan karirnya.
c.       Menciptakan sebuah slogan untuk meningkatkan motivasi kepada pegawai agar mendukung perubahan tersebut misalnya dengan istilah “change, yes we can” yang sukses dilakukan oleh Presiden Obama untuk membangkitkan semangat para pendukungnya.
d.      Mewajibkan kepada seluruh pegawai untuk saling memberikan update informasi mengenai perkembangan proses reorganisasi sehingga dapat menimbulkan rasa keingintahuan (curioscity) pegawai tahapan progress reorganisasi tersebut.
2.      Komunikasi informal
a.       Pendekatan atasan kepada bawahan juga tidak hanya dilakukan sebatas hubungan hierarki tetapi juga dapat dilakukan dengan management by walking around (MBVA) diantaranya dengan cara makan siang bersama di kantin kantor sambil mengkomunikasikan rencana organisasi tersebut. 
b.      Untuk menguatkan rasa kebersamaan dan pemahaman pegawai dapat pula dilakukan family gathering Kementerian Keuangan dengan diselingi sosialisasi update informasi reorganisasi kepada pegawai.
Berdasarkan McShane dan Von Glinow (2010, p.278) “one of the best communication channel is by social acceptance refers to how well the communication medium is approved and supported by the organization, teams, and individual”. Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan dalam organisasi dapat dibangun melalui social acceptance yaitu dengan cara ketemu langsung (face to face) atau bisa dengan telepone, pesan instan (sms/whatsapp), atau melalui email.
Namun untuk membentuk komunikasi yang efektif terkadang terhadap hambatan yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
1.      Terdapat banyak variasi bagaimana informasi diproses dan diinterpretasikan
Bahwa informasi yang disampaikan belum tentu dapat dipersepsikan sama oleh orang lain sehingga perlu dibuat semacam buku panduan terkait reorganisasi tersebut.
2.      Munculnya stereotip dan prasangka
Desas-desus dan informasi yang bersifat sensitif seperti jenjang karir di unit baru harus dapat disampaikan secara baik dan jelas sehingga tidak menimbulkan prasangka diantara pegawai.
3.      Variasi kepercayaan antarpersonal
Mengingat informasi yang disampaikan dapat dipersepsikan berbeda oleh orang lain maka menimbulkan variasi kepercayaan antarpersonal yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dapat diatasi dengan menetapkan standar atas informasi yang disampaikan.
Dalam hal saluran komunikasi telah optimal dimanfaatkan berarti komunikasi efektif dapat tercapai dalam rangka sosialisasi reorganisasi tersebut, maka diharapkan penyebaran informasi mengenai reorganisasi tersebut dapat diterima dengan baik kepada seluruh pegawai Kementerian Keuangan khususnya DJKN. Selanjutnya dengan telah tersampaikannya informasi dengan baik, diharapkan proses reorganisasi dapat didukung oleh seluruh pegawai Kementerian Keuangan pada umumnya dan pegawai DJKN pada khususnya sehingga Kementerian Keuangan dapat melayani kepentingan stakeholder secara optimal dan profesional.
Perlu ditambahkan bahwa sesuai Charan, Drotter, Noel (2011) untuk meminimalisir ketakutan pegawai atas masa depan karirnya dengan adanya reorganisasi ini maka diperlukan proses assesment yang objektif sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi pegawai untuk mengisi posisi jabatan di organisasi yang baru. Diharapkan posisi tersebut dapat diisi oleh pegawai dari kalangan internal yang mempunyai kemampuan sebagaimana program pengembangan SDM seperti pendidikan dan pelatihan yang telah dilaksanakan selama ini. Tantangan bagi organisasi adalah untuk memastikan bahwa orang-orang yang menduduki posisi sebagai pemimpin diberi tugas pada tingkatan yang sesuai dengan keterampilan mereka, pemanfaatan waktu, dan nilai.


IV. Simpulan
Proses perubahan di suatu organisasi seringkali terdapat hambatan/kendala yang akan terjadi termasuk proses reorganisasi di Kementerian Keuangan dimana terdapat tantangan/hambatan terbesar yang berasal dari internal organisasi yaitu adanya resistensi pegawai atas rencana reorganisasi tersebut. Resistensi tersebut terjadi karena ketidaksiapan para pegawai DJKN dalam menghadapi perubahan tersebut yang disebabkan kurangnya penyebaran informasi terkait reorganisasi tersebut.
Oleh karena itu untuk membangun komunikasi yang efektif dapat dilakukan dengan memaksimalkan saluran-saluran komunikasi yang ada baik secara formal maupun informal sehingga informasi dapat tersampaikan dengan baik. Reorganisasi tersebut akan berhasil apabila rencana reorganisasi tersebut dapat diinternalisasikan terlebih dahulu kepada pegawai dengan cara melakukan edukasi dan sosialisasi. Komunikasi yang telah dibangun secara efektif tersebut diharapkan dapat meningkatkan rasa urgensi ditengah pegawai bahwa konsep what is transformation benefit to organization, not what is benefit to me dapat dipahami dengan baik sehingga diharapkan perubahan yang dilakukan akan memberikan kemajuan kepada organisasi maupun pegawai.



Daftar Pustaka
Charan Ram, Drotter Steve, and Noel Jim (2011). The Leadership Pipeline, John Wiley & Sons Inc.
Kinichi Angelo, Kreitner Robert (2007). ‪Organizational Behavior. ‪McGraw-Hill Higher Education.
Mcshane Steven L., Von Glinow Mary Ann (2005).  Organizational Behavior. McGraw-Hill Higher Education.
https://www.kemenkeu.go.id
https://www.djkn.kemenkeu.go.id
      Buletin Kinerja Kementerian Keuangan edisi XX/2014 

catatan : tulisan paper di atas tidak mewakili instansi manapun, murni pendapat pribadi penulis

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Mengikuti Seleksi Ujian MMUI dan MMUGM

Mengenal lebih dekat LPDP

Rumah Baru - Direktorat PKN&SI