Encouragement - Prof. Rhenald Kasali, Ph.D
Tulisan dari Prof Rhenald Kasali
dibawah ini menurut saya bagus untuk di share, tulisan ini berintikan bahwa
terdapat cara atau pandangan yang berbeda untuk menilai prestasi seseorang.
Dalam kasus ini Prof Renald membandingkan antara yang umumnya terjadi di
Indonesia dengan di Amerika, berikut tulisan lengkapnya:
|
LIMA
belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya,
karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi
nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia
baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia
tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya
mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu
buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya
memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah
yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah
dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan
memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya
khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang
menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari
Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya
Menghukum
Pertemuan
itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat
yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya
dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi
kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang
agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar
itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya
dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut
ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman
drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya
pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan
mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun
suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang
lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu
mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan
menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh
puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering
saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan”
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika
seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji
marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan
kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang
luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat
saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang
diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan
ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada
semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana
mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah
Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke
pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita
mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di
depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor
anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak
Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak
diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja
lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan
yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan
mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah
memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai
E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”.
Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan
Kehebatan
Bisakah
kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa
takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah
yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan
semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak
manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,
dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan
(dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian
kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang
sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau
bodoh.
Tetapi
juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita
renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau
ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi
ancaman yang menakut-nakuti.(*)
RHENALD KASALI
Sumber: http://mm.fe.ui.ac.id/index.php/berita/261-encouragement-prof-rhenald-kasali-phd
|
How to make money from sports betting with free spins - Work
ReplyDelete› › › Casino › › Casino Casino Oct 2, 2021 — Oct 2, 2021 If you make a deposit using this bonus, you'll receive a septcasino $50 หารายได้เสริม free bet 바카라 사이트 + a 50% deposit match on your first deposit. To claim your bonus,
Harrah's Cherokee Casino - Mapyro
ReplyDeleteHarrah's Cherokee Casino, Cherokee, NC. Distance 고양 출장샵 from airport: 0.0 영천 출장샵 miles (0.8 km). Casino. Directions 전라남도 출장샵 to 태백 출장샵 Harrah's 포천 출장샵 Cherokee Casino